Rabu, 26 Mei 2010

Kekuasaan yang Memiskinkan

Kepakan sayap garuda rapuh. Dia limbung tak lagi seheroik saat Soekarno dengan dada berminyak berteriak 'ganyang Malaysia' atau 'go to hell with your aid' kepada Amerika. Kini Garuda Indonesia terbang rendah lalu tersesat dalam sarang penyamun Robin Hood Community. Komunitas penyamun uang rakyat untuk, katanya, membebaskan rakyat dari kemiskinan dengan maestro pembangunan ekonominya. Saat Orde Baru, Soeharto bak pahlawan memberikan gaji rendah pada pegawai tapi memberi kesempatan mencari sabetan di proyek-proyek dengan sistem sekondusif mungkin untuk korup sehingga rakyat tak menggonggong penguasa yang korup (Rosidi, 2009).

Rezim perburuan ekonomi pun memperoleh jalan tolnya lewat represif sistem disertai korupsi, konglomerasi hitam. Selama 32 tahun pula etalase ketamakan elite menyeruak hingga mencetak 25% orang kaya baru yang melebihi rata-rata orang kaya Malaysia, bahkan masuk dalam jajaran terkaya dunia (Suharto, 2008). Mereka muncul di sela-sela ketidakadilan dan kesenjangan sosial yang menjadi-jadi. Sejak krisis tahun 1999, angka kemiskinan terus menukik menjadi 37,17 juta jiwa, bahkan kini menjadi 40 juta jiwa. Namun para penggarong uang negara tetap saja lebih merasa 'pahlawan' daripada misalnya, 600 ribu-700 ribu pahlawan devisa yang diperlakukan laksana 'babu' di negeri orang.

Sayap-sayap garuda patah karena perilaku birokrat, politisi, makelar, para 'benteng hukum' yang menggelapkan uang jutaan rakyat kumuh yang terpuruk. Survei Barometer Korupsi Global Transparency International Indonesia (2009) menempatkan DPR sebagai jawara korup (skor 4,4), urutan ke-2 ditempati institusi peradilan (skor 4,1), serta parpol dan pegawai publik di urutan ke-3 (skor 4,0). Kalau survei ini dibuat awal tahun 2010, mungkin posisinya berubah karena konstelasi korupsi memperlihatkan tren yang 'kompetitif'. Kasus mafia perpajakan saat ini yang melibatkan polisi, jaksa, advokat, maupun hakim bisa menyodok institusi peradilan di undakan terkorup.

Sayang, 'kompetisi' destruktif itu cuma membuntal negeri ini menjadi ladang pembantaian sistemik dan struktural bagi kaum akar rumput nan 'lancut'. Rasanya bak denyutan luka, saat para elite sibuk-–mengejar--korupsi, saudara kita di NTT justru meradang kelaparan dan gizi buruk. Sebagai korban 'darwinisme' pembangunan, mereka mengemis 'kehidupan' di hutan-hutan sambil menggali umbi, pengganjal perut laparnya. Sementara para elite leluasa menikmati mewahnya ‘kehidupan’ dari pajak rakyat (Rp10 triliun pajak dikorupsi per tahun) yang digelapkan (tax shelter); dari ‘angin surga’ keadilan yang mudah dibeli; dari menu kebijakan prokapitalis yang ‘mengangsur kematian’ usaha rakyat pedagang kaki lima, buruh, petani dan nelayan.

Contoh, dari 2 juta nelayan, 60% dari nelayan di desa berpendapatan di bawah kebutuhan minimal; 80% hanyalah buruh tangkap berpendapatan rendah; 32 juta petani Indonesia adalah buruh tani, 90 juta jiwa petani subsisten yang jika menguasai 0,36 hektare pun tak cukup untuk makan keluarga. Petani mengalami pemiskinan lima kali lipat karena minimnya infrastruktur pertanian, besarnya bunga pinjaman bank yang harus dilunasi petani. Jika petani begitu sulitnya memperoleh kredit guna memenuhi kebutuhan pangan rakyat senilai Rp258,2 triliun (Kompas, 26/4/2010), bank sekecil Century-–yang notabene bank gagal--begitu mudah ditalangi pemerintah triliunan rupiah. Petani kita pun makin buntung dengan aturan penyerahan sepenuhnya usaha budi daya pangan ke swasta lewat PP No 18/2010 yang memunculkan potensi negara luar berdaulat atas pangan kita. Sepertinya kian hari, pemerintah cuma dipilih dan dipercayakan dalam sistem kekuasaan yang menyengsarakan rakyat.

Kita lalu bertanya kenapa di saat kita dijuluki kampiun demokrasi, justru kebijakan pemerintah malah selalu menindas rakyatnya? Kenapa NTT, NTB, Papua terus digulung kemiskinan meski otonomi sudah berjalan satu dasawarsa lebih.

Akira Lida dalam Paradigm Theory and Policy Making (2004) pernah mengingatkan, kebijakan publik di negara berkembang selalu merupakan konflik kepentingan global dan domestik. Kita dipaksa hidup dalam water world seperti yang digambarkan Kevin Costner dalam filmnya, di mana negara kita selalu-–beradaptasi menurut sifat air--mengalir ke derajat harga diri terendah sebagai bangsa yang mudah didikte pihak lain meski Muhamad Hatta dulu mengingatkan, democratie zonder wijsh eid een ramp voor on sallen (demokrasi tanpa kebijaksanaan adalah bencana bagi kita). Kebijaksanaan sebagai negara yang bisa menentukan kedaulatan domestiknya sendiri tanpa harus terus mengemis ‘makan siang’ gratis kepada rezim kapitalis.

Pola seperti ini mengalir juga ke daerah-daerah. Banyak kasus, bukannya good governance yang terlihat, melainkan poor governance, sebuah tata pemerintahan buruk yang hanya memunculkan aneka deviasi kebijakan lokal serta ‘pemekaran’ korupsi (meng-KKN-kan daerah dan mendaerahkan KKN) sehingga kantong-kantong kemiskinan terus bermunculan. Jahatnya, menurut teori fungsional kemiskinannya Zastrow (2000:140), ada semacam pembiaran kemiskinan oleh elite (lokal). Misalnya, rakyat dibuat miskin agar: 1) mereka bisa dipekerjakan dengan upah rendah, 2) menjadi momentum menaikkan citra politisi/kaum kaya lewat kedermawanannya membantu orang yang miskin, 3) menjadi simbol perlawanan bagi kelompok politik tertentu untuk dimobilisasi sebagai pemilih kelompok politik lain. Itu sebabnya kemiskinan erat kaitannya dengan politik rekayasa penguasa.

Kelaparan, kemiskinan tak mungkin tereliminasi dari masyarakat jika kewenangan yang dimiliki pemimpin tak mampu diterjemahkan sebagai kebijakan yang ramah dan membela rakyat kecil. Pemerintah pusat sibuk membuka keran pemekaran daerah tanpa melihat jeli kepentingan pragmatis yang bercokol dengan energi korupsi elitenya yang sudah mendarah. Banyak daerah di mana pemerintahnya sibuk ria menjadi ‘pengusaha’, sebaliknya pengusaha asyik mengurus kekuasaan. Itu sebabnya Gaventa (2005) dalam risetnya mengatakan desentralisasi dan pemekaran pada akhirnya cuma menguntungkan penguasa lokal, bukan rakyat.


Oleh Umbu TW Pariangu, Mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM, Yogyakarta

Demokrasi dan Good Governance

Sejak reformasi politik 1998, keran demokrasi telah terbuka penuh. Partisipasi rakyat dalam persoalan politik berlangsung setiap saat. Indonesia pun sukses menggelar ritual pemilu dan pemilu kada di berbagai daerah. Bahkan, Indonesia menerima banyak pujian dari sejumlah lembaga internasional sebagai negara yang berhasil menjalankan demokrasi.

Meski demikian, berbagai persoalan besar di negeri ini terus bermunculan. Belum tuntas kasus pengucuran dana triliunan rupiah kepada PT Bank Century, telah muncul kasus manipulasi pajak Gayus Tambunan yang melibatkan aparat penegak hukum, dan disinyalir segera terkuak kasus mafia pertambangan dan kehutanan.

Kasus-kasus tersebut melengkapi banyak persoalan lain, seperti masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan, pelayanan birokrasi yang tidak memuaskan, dan korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah pusat dan daerah, anggota DPR dan DPRD. Berbagai persoalan tersebut menggambarkan ternyata setelah lebih 10 tahun berdemokrasi justru tidak menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat.

Yang menonjol saat ini, demokrasi lebih banyak menghasilkan pemimpin dan wakil rakyat yang buruk. Mereka tidak memiliki kompetensi yang memadai dan dapat dibanggakan. Demokrasi hanya menjadi sarana formalitas kekuasaan rezim dari waktu ke waktu, bukan sarana untuk memperbarui kontrak sosial. Demokrasi kita hanya berkualitas dalam prosedurnya, namun sangat buruk dalam substansinya. Pada akhirnya, demokrasi yang seharusnya menjadi fondasi terciptanya tata pemerintahan yang baik (good governance), pada kenyataannya justru mengarah pada bad governance.

Lantas, dengan kenyataan buruk yang terjadi dalam demokrasi kita, apakah demokrasi dianggap pilihan yang salah? Menurut saya, bukan demokrasinya yang salah, namun memang ada yang salah dalam cara kita berdemokrasi. Dalam demokrasi, tata pemerintahan dijalankan dengan terbuka, kompetitif, dan bebas. Namun, bagaimana cara menjalankannya akan menentukan apakah secara substansi kita sudah demokratis, atau baru sekadar secara prosedural demokratis.

Kesalahan berdemokrasi
Ada beberapa kesalahan dalam cara kita berdemokrasi. Pertama, demokrasi telah dimaknai sebagai tujuan, bukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Jawaharlal Nehru (1960) menyatakan, “Democracy are means to an end, not the end itself.” Dengan demikian, sebagai sarana maka demokrasi adalah sistem yang tidak sempurna, yang butuh penyempurnaan dari waktu ke waktu. Jika demokrasi, dengan pengertian sebagai praktik politik yang terbuka, kompetitif, dan bebas dianggap sudah mencapai tujuan, maka tujuan hakiki dari demokrasi akan terabaikan. Banyak yang lupa bahwa tujuan demokrasi yang sebenarnya adalah terciptanya kebebasan, keadilan, dan kesejahteraan rakyat.

Kedua, karena demokrasi menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, maka setiap warga negara memiliki hak untuk dapat memilih dan dipilih, sepanjang memenuhi persyaratan di muka hukum. Di sinilah dapat muncul sisi gelap dari demokrasi (the dark side of democracy). Karena setiap orang dapat memilih dan dipilih, maka dapat muncul mobocracy yaitu demokrasi yang dilaksanakan oleh masyarakat yang bodoh, tak berpendidikan, memiliki akhlak buruk, mudah disuap, dan cenderung menyukai kemaksiatan. Bahkan jauh sebelumnya, sekitar 6 abad SM, Plato menyebut dengan timocracy, yaitu demokrasi yang dilaksanakan di tengah masyarakat korup sehingga membentuk pemerintahan yang korup pula.

Ketiga, formalisasi demokrasi yang mengabaikan moralitas hukum. Praktik pemilu dan pemilu kada hingga saat ini lebih didominasi oleh manipulasi simbol demokrasi berupa praktik politik hegemoni, perpanjangan kekuasaan, dan kompetisi uang (money racing). Yang memprihatinkan, masih banyak bagian masyarakat belum optimal menggunakan daya kritis dan nalar untuk menilai ukuran kepantasan dan kepatutan seorang calon anggota legislatif dan kepala daerah. Mereka dengan mudah dibutakan hatinya hanya dengan beberapa lembar puluhan ribu rupiah.

Keempat, pengabaian kompetensi. Di tengah belum optimalnya daya kritis masyarakat, sedikit sekali partai politik yang peduli memberikan pendidikan politik kepada masyarakat. Bahkan, parpol dan elite politik seolah dengan sengaja memanfaatkan keterbelakangan masyarakat guna melanggengkan kekuasaannya. Uang dan popularitas dijadikan senjata utama untuk memenangkan setiap proses demokrasi. Rakyat terus dibutakan hatinya untuk terus mengabaikan kompetensi dan track record calon.

Kelima, demokrasi transaksional. Beberapa literatur politik mengenalkan teori money-power-more money. Bila kapitalisasi telah masuk dan memengaruhi politik, orang yang memiliki kekuatan uang berpeluang besar menduduki kekuasaan karena uangnya. Dan manakala kekuasaan telah ada di tangannya, ia akan menggunakan kekuasaannya untuk mengumpulkan lebih banyak uang demi mengekalkan kekuasaan itu. Realitas politik yang kita jalani sangat relevan dengan teori ini.

Memutus belitan
Lantas, bagaimana memutus mata rantai lingkaran setan yang membelit demokrasi kita itu? Jawabannya adalah kerja keras untuk terus-menerus melakukan pendidikan politik guna mencerdaskan dan membebaskan masyarakat dari belenggu kebodohan dan kemiskinan. Para intelektual di negeri ini harus mengambil peran yang lebih dominan di tengah kelalaian partai politik, yang seharusnya melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Para intelektual harus menanamkan kepada generasi penerus nilai dasar, seperti keadilan, kejujuran, antikorupsi, kesetaraan, dan humanisme. Bukan sekadar mengejar pencapaian prestasi, karier, dan uang.

Di samping para intelektual, semua elemen masyarakat madani, seperti LSM, organisasi mahasiswa, organisasi pemuda, dan organisasi masyarakat, mutlak diperlukan komitmen dan peran aktifnya guna memutus mata rantai lingkaran setan ini. Demokrasi harus diselamatkan melalui kampanye terus-menerus dengan berbagai macam media yang dapat diakses masyarakat.

Dalam jangka pendek, meskipun demokrasi tidak bisa direduksi hanya sekadar pemilu dan pemilu kada, kita harus menyelamatkan pemilu dan pemilu kada agar tidak terperosok ke dalam praktik demokrasi yang salah. Sebab, pemilu dan pemilu kada dapat menjadi pintu masuk yang lebar bagi orang-orang yang tidak memiliki track record dan kompetensi yang baik, namun dengan kekuatan uang dan popularitas ia dapat memenangkannya.

Perlu dipahami bahwa pemilu tidak dengan sendirinya menjamin peningkatan kualitas demokrasi, tetapi sekadar membuka akses terhadap peningkatan kualitas demokrasi tersebut. Akses tersebut terletak pada berfungsinya mekanisme check and balance antara the ruled & the ruler melalui 'kontrak politik' yang terjadi secara langsung dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Peningkatan kualitas demokrasi itu sendiri secara substansial masih harus diperjuangkan dalam jangka waktu lama. Sebab, beberapa prakondisi bagi berfungsinya demokrasi yang berkualitas belum terwujud dalam praktik dan tradisi politik kita, yaitu 1) adanya DPR, DPD dan DPRD yang berkualitas, 2) pemerintahan yang bersih dan berwibawa, 3) sistem rekrutmen anggota legislatif yang kompetitif, selektif, dan akuntabel, 4) partai politik yang modern dan profesional, 5) pemilih yang kritis dan rasional, 6) kebebasan pers yang bertanggung jawab, 7) kelembagaan masyarakat sipil (NGO) yang modern, konsisten, dan profesional, dan 8) masyarakat madani (civil society) yang berdaya dan terorganisasi.

Untuk menciptakan tata pemerintahan yang baik, tidak serta-merta terwujud melalui pemilu, mengingat good governance merupakan never ending process yang tidak dapat diidentikkan dengan figur, kelompok, dan atau partai tertentu. Good governance merupakan komitmen untuk melakukan apa yang disebut continous improvement dalam tata pemerintahan kita, menyesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat. Pemilu dan pemilu kada adalah sarana untuk membuka akses ke arah terciptanya good governance tersebut. Pemilu yang bersih, jujur, dan adil memang tidak serta-merta menjamin terciptanya good governance. Namun paling tidak, mampu mengarahkan pada perubahan-perubahan yang mendasar bagi terciptanya keadilan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kamis, 20 Mei 2010

Strategi Maraton Kontraterorisme

Rangkaian penggerebekan titik mukim teroris di dua pekan awal Mei 2010 (sejak 6/5/2010 hingga 14/5/2010) ini memberikan pesan sederhana kepada publik bahwa di tengah kondisi institusinya menjadi eksperimen para 'pemain hukum' (pengacara, politisi, dll) yang mengejar kepentingan popularitas profesinya masing-masing, Polri dapat tetap fokus bekerja secara profesional. Jika dilihat dari profil para teroris yang dibekuk di Jakarta dan Jawa, manfaat operasi di Aceh Besar yang dimulai sejak 23 Februari 2010 bagi terbukanya informasi persebaran jaringan teroris di tempat lainnya sangat besar. Tantangannya kemudian apakah Polri siap dengan kerja yang bersifat maraton (jangka panjang) dalam menanggulangi terorisme? Asumsi kesiapannya akan sangat bergantung pada strategi maraton Polri.

Strategi dan watak
'Kelompok Aceh' yang mulai populer akhir-akhir ini sebenarnya sudah tidak lagi berpikir untuk menjadikan Aceh sebagai basis utamanya sejak basis pelatihan militernya diacak-acak Polri. Sejak Aceh terbongkar, jaringan ini memindahkan target qoidah aminah ke Jakarta dan Jawa, merencanakan a Mumbai style attack terhadap hotel-hotel berbasis asing, aparat keamanan, hingga penyerangan istana saat 17 Agustus 2010 pada saat RI-1, pejabat negara, dan VVIP berkumpul.
Jaringan teroris 'baru' memang terkesan lebih rumit. Hal ini dipengaruhi warna komposisi teroris ‘kawakan’ yang hinggap di jaringan ‘baru’ ini dan kemampuannya menggabungkan tiga watak sekaligus, yakni insurgensi, terorisme, dan religiusitas. Dalam bahasa akademik, watak insurgensi adalah sekelompok kecil nonnegara yang melancarkan kampanye asimetris terhadap negara demi tujuan perubahan politik ke arah cita-cita gerakan (Gray, 1999: 23-25). Watak ini diperankan para mastermind yang hardened radical alias radikal ‘totok’, lingkar inti gerakan yang menjadi penentu langkah detail tahapan insurgensi. Adapun pilihan taktik teror yang bertujuan untuk mengguncang psikologis masa dan memancing respons labil (Kiras, 2002: 211 dan Marighella, 2002) diperankan lingkar kedua, yaitu para operator aksi militer. Sementara religiusitas sebagai motivasi yang melegitimasi segala tindakannya (Laqueur 1996: 32-33 dan Wright 1986: 19–21) digunakan untuk membangun basis simpatisan di lingkar terluar, yang bekerja mendanai, mendukung, dan melindungi mereka.
Kombinasi tersebut sukses menjadikan jaringan ini 'payung gerakan'. Pertama, bagi mereka yang secara psikologis ‘benci’ terhadap aparat keamanan, pemerintah, dan pihak-pihak tertentu karena pengalaman di Poso, Ambon, atau pengalaman perang di Filipina dan Afghanistan. Kedua, bagi kaum ‘ekstremis radikal’ yang berpandangan biner terhadap situasi sekarang. Ketiga, bagi mereka yang berkeyakinan bahwa ‘perang’ adalah definisi tunggal jihad tanpa mengenal konteks dan kondisi.
Oknum-oknum tersebut terhimpun dari latar belakang organisasi yang berbeda untuk menjadi backbone (tulang punggung) dari jaringan teroris, seperti Jamaah Anshorut-Tauhid (JAT), eks Darul Islam (DI), alumni KOMPAK Ambon, alumni al-Jamaah al-Islamiyah (JI) Poso, Negara Islam Indonesia (NII), alumni Abu Sayyaf Group (ASG) Filipina, dan lainnya. Oleh karena keterlibatannya perorangan, faktor usia berdiri organisasi tidak berpengaruh. Seperti halnya JAT yang baru berdiri 17 September 2008, tapi peran amir JAT Abu Bakar Baaasyir di masa lalu agaknya menjadikan JAT sorotan. Terlebih sejak awal berdirinya JAT sudah mengangkat tajuk Imamah versus Democracy. Belum lagi jika melihat 45 poin manhaj (metodologi pemahaman) JAT yang mengandung arahan diametral terhadap pemerintahan dan sistem nasional (poin 23), tendensi kekerasan dan terorisme (poin 27), serta ‘perang’ sebagai definisi tunggal jihad (poin 39 dan 40).

Diplomasi dan legislasi
Orientasi kerja jangka panjang jaringan teroris tersebut mengharuskan strategi penanggulangannya juga lebih integral dan bersifat berkelanjutan. Di antara kekeliruan pandangan terhadap agenda kontraterorisme adalah dugaan bahwa ia hanya dimulai sesaat setelah insiden terjadi dan berakhir ketika teroris tertangkap. Oleh karenanya, strategi maraton tersebut terutama sekali harus memberikan perhatian pada pencegahan di samping tetap memperhatikan sisi penindakan. Artinya upaya pencegahan berupa upaya diplomasi, legislasi, dan edukasi harus diberikan atensi lebih.
Upaya membangun diplomasi pemerintahan dapat dijadikan prioritas pertama, terutama dalam penerapan tata pemerintahan yang bercitra religius, bersih, proumat, dan amanah. Kemudian, diplomasi pemerintah kepada publik untuk mengirimkan pesan bahwa teroris telah memperburuk citra Islam menimbulkan bertambahnya kesusahan mereka dengan mengurangi pendapatan dan investasi. Terakhir, diplomasi Indonesia harus bermitra dengan komunitas internasional untuk memastikan bahwa pendekatan-pendekatan paternalistis tidaklah disukai dan harus ditinggalkan. Upaya perdamaian konflik-konflik yang memakan banyak korban umat muslim harus diperjuangkan. Khususnya hak kemerdekaan Palestina dari penjajahan zionisme-Israel semestinya merupakan inti dari diplomasi ini.
Upaya kedua, menciptakan legislasi antiterorisme untuk menciptakan lingkungan yang 'tidak bersahabat' bagi pembangunan dukungan populasi terhadap teroris serta penambahan logistik persenjataan. Dalam PP No 1/2002 jo UU No 15/2003, memang telah termuat kategori tindak pidana terorisme juga prinsip-prinsip legal penyidikan, penyelidikan, penuntutan, dan pengadilan. Namun, perlu ada pemenuhan kebutuhan di berbagai peraturan lainnya, di antaranya mengenai UU Antiterorisme, perlu diperhatikan kewenangan institusi penegak hukum melakukan ‘tahan paksa’ berbasis data intelijen dan etika KUHAP. UU Intelijen Negara juga meskipun dibahas di Komisi I bukan Komisi III, tetap perlu menegaskan kewenangan penuh intelijen kepolisian dalam hal isu terorisme sehingga tidak terjadi kekacauan informasi intelijen.
Begitu juga respons legislasi untuk membendung laju menguatnya logistik persenjataan teroris. Di tengah proses Pansus DPR-RI untuk merumuskan UU pencucian uang (money laundering), sekaranglah saat yang tepat untuk memberikan masukan penajaman terhadap beberapa pasal yang memiliki keterkaitan erat dengan antisipasi pendanaan terorisme. Seperti pidana terorisme (dalam pasal 2), peran bank sebagai pelapor (p.15) urgensi mengenali nasabah (p.16), transaksi berjumlah besar (p. 33), pemblokiran aset (p. 64), hingga masalah kerja sama transnasional (p. 97, 98, 99, 100 dan 101).

Moderasi populasi
Ratusan penggerak dan ratusan ribu pendukung ideologi yang tersebar di seluruh Nusantara memastikan bahwa agenda kontraterorisme tidak akan menjadi kerja sederhana. Tidak mungkin pula menyikapinya hanya dengan agenda penindakan, penggerebekan, apalagi penembakan satu per satu. Moderasi populasi adalah solusi jangka panjang kontraideologi dalam rangka kontraterorisme.
Implementasi strategi ini dapat dimulai dengan mengatur sistem kerja sama pelibatan ustaz-ustazah, imam masjid lokal atau guru agama, untuk menjadi konsultan dan kontak personal utama agenda moderasi populasi. NU dan Muhammadiyah sebagai dua ormas Islam terbesar dapat dilibatkan untuk menghasilkan materi-materi edukasi publik komunitas muslim, baik ala nahdiyin maupun AIK (Al Islam dan Kemuhammadiyahan). Yang terpenting, muaranya dapat bermanfaat membimbing masyarakat kepada pemahaman Islam yang komprehensif, modern, dan bersahabat.
Hubungan yang lebih sehat antara aktor politik, ulama, kampus, dan pesantren harus dibangun. Aktor politik melalui upaya legislasi dapat berperan memberikan legitimasi politik bagi keberlakuan kerja sistemis yang melibatkan aktor keamanan dan nonkeamanan tersebut. Kemudian Polri sebagai major actor dapat terus meningkatkan kapasitas organisasinya terkait dengan penanganan terorisme. Agaknya jika profesionalisme terus dibuktikan dan Polri secara bijaksana dapat berbagi peran dengan aktor lainnya, hujatan dan upaya delegitimasi Polri akan berlalu begitu saja. Lagi pula kerja sama dengan aktor lain adalah bagian dari fokus agenda Reformasi Birokrasi Polri periode 2010-2014, yaitu kemitraan.

Arya Sandhiyudha As, Master dalam bidang Strategic Studies dan penerima Certificate in Terrorism Studies dari S Rajaratnam School of International Studies, Nanyang Technological University, Singapura

Panglima TNI Terbitkan Aturan Implementasi KIP

Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso menerbitkan aturan yang merupakan implementasi pemberlakuan UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Aturan itu merujuk pada Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/01/I/2003 tentang pejabat yang diberi wewenang memberikan keterangan pers.

Menurut Kapuspen TNI Mayjen Aslizar Tanjung, pejabat yang bertanggungjawab dalam pemberian keterangan pers sekaligus ditunjuk sebagai pejabat pengelola informasi dan dokumentasi. Hal tersebut menjadi kewajiban yang diatur dalam UU KIP.

"Sebenarnya, TNI sudah lebih dulu melaksanakan UU KIP itu dengan adanya Keputusan Panglima TNI Nomor 01/I/2003. Kita hanya menekankan kembali saja," ujar Panglima TNI kepada Media Indonesia di Jakarta, Kamis (20/5).

Sesuai Keputusan Panglima TNI Nomor Kep/01/I/2003, Pejabat yang diberi wewenang memberikan keterangan pers diatur sebagai berikut Lingkungan Mabes TNI: Panglima TNI, Kasum TNI, Irjen TNI, Dan/Pang Kotamaops TNI, Asrenum Panglima TNI, Para Asisten Panglima TNI, Dan/Kabalakpus TNI, Pangkoops TNI, Pejabat Penerangan, dan Atase Pertahanan RI di luar negeri.

Sementara itu, lingkungan TNI AD : KSAD, Wakil KSAD, Irjenad, Pangkostrad, Dankodiklat, Para Asisten KSAD, Pangdam, Danjen Kopassus, Para Ka/Dir/Dan/Gub Eselon Pelaksana Pusat TNI AD, Para Danrem, Para Dandim, dan Pejabat penerangan.

Sementara itu, pejabat yang berwenang lingkungan TNI AL adalah KSAL, Wakil KSAL, Irjenal, Para Asisten KSAL, Pangarma dan Kolinlamil, Dankodiklat dan Dankormar, Para Ka/Dir/Dan/Gub Eselon Pelaksana Pusat TNI AL, Para Danlantamal, Danguspurla, dan Danguskamla, Para Danlanal, dan Pejabat penerangan.

Terakhir, pejabat yang berwenang di lingkungan TNI AU adalah KSAU, Wakil KSAU, Irjenau, Para Asisten KSAU, Para Pangkoopsau dan Dankorpaskhasau, Para Ka/Dir/Dan/Gub Eselon Pelaksana Pusat TNI AU.

Keputusan tersebut juga memuat aturan khusus terkait keterangan pers yang berkaitan dengan TNI yang mempunyai dampak dan kerawanan terhadap pertahanan negara dan keamanan nasional secara luas. Keterangan tersebut hanya dapat diberikan oleh Panglima TNI atau Pejabat TNI yang ditunjuk oleh Panglima TNI. (Din/OL-03)

Rabu, 19 Mei 2010

Sekber Koalisi Bentuk Kartel Politik

JAKARTA--MI: Sekretariat Bersama (Sekber) Koalisi menunjukkan kartel politik yang bisa bertahan lama sepanjang Sekber tersebut mengakomodasi seluruh kepentingan parpol koalisi.

Sekber demi rakyat, itu hanya alasan untuk menutupi agenda-agenda tersebunyi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie (Ical).

"Sekber ini bisa saja disebut kartel politik sepanjang kepentingan parpol koalisi diakomodasi. Kalau kepentingan parpol koalisi tidak terakomodasi, Sekber ini tidak akan tahan lama, tapi akan bubar dengan sendirinya," kata Pengamat Politik UI Iberamsyah di Jakarta, Selasa (18/5).

Iberamsyah mengatakan Sekber tidak lebih dari sebuah perkumpulan atau gabungan orang-orang yang berkuasa yang mengebiri kebijakan dan program di kementerian dan kekuasaan DPR.

"Koalisi ini bisa memengaruhi kabinet dan DPR. Semua masalah dan kebijakan, jadinya digoreng (dibahas) di Setgab (Sekber). Kelompok kartel seperti ini tidak dikenal dalam sistem tata negara kita. Di negara-negara lain, organisasi seperti ini tidak dikenal. Bubarkan saja ini," tegasnya.

Menurut Iberamsyah Sekber tidak ada gunanya karena ini hanya ilusi elite parpol dan pejabat-pejabat negara. "Ini aneh kalau terus dipertahankan karena ini hanya untuk kepentingan SBY-Ical, mereka berdua saja yang tahu ini," ujarnya.

Keberadaan Sekber Koalisi, ujar Iberamsyah, suatu keanehan yang menunjukkan SBY tak berdaya menghadapi dan mengendalikan mitra koalisinya.

"SBY-Boediono kan memenangi Pilpres dengan perolehan 62%, aneh banget kalau SBY harus takut dan meminta Ical menjadi ketua harian Sekber menghadapi mitra koalisinya," ujarnya. (Ken/OL-7)